Sekilas masalah “kebetulan” adalah masalah yang biasa-biasa saja. Padahal masalah ini sangat erat hubungannya dengan tauhid kita, juga berhubungan dengan pembuktian keberadaan Tuhan. Bahkan jika kita memikirkan lebih dalam lagi sangat berpengaruh dengan perkembangan kelangsungan ilmu pengetahuan. Makanya tidak heran jika di dunia filsafat “teori kebetulan” menjadi perdebatan. Mereka para pemikir saling berbeda pendapat tentang ‘teori kebetulan’ ini. Pada umumnya Para filosof Islam seperti Abu Ali (Ibnu Sina), Ayatullah Al’ Allamah H. Tabhataba’i–semoga rahmat Allah senantiasa tercurahkan untuknya-menolak teori ini.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Empidocles (490-435 SM) dan Demokritus (460-370 SM) yang belakangan dilanjutkan dengan Charles Darwin (1809-1882), mereka adalah Sophis Yunani. Empidocles berpendapat bahwa alam ini (langit, bumi, dan planet-planet) tercipta secara kebetulan karena bertemunya potongan-potongan benda kecil secara kebetulan yang selalu bergerak secara kebetulan. Dan Demokritus berpendapat bahwa alam ini terjadi karena adanya pertemuan dari unsur-unsur alam secara kebetulan. Dan jika kebetulan, pertemuan itu dapat menyinambungkan suatu keberadaan, maka itulah alam semesta. Pernyataan ini sebagaimana tertera dalam buku “Nihayatul Hikma” Pada marhala 8 pasal 13 karangan Ayatullah A.H. Tabhatabai. dan Thabiyat Al-Syifa karangan pasal 13 Makuula Al-Ula karangan Ibnu Sina. (Lihat buku “Tauhid” karangan Hasan Abu Ammar hal 113 catatan kaki).
Para penganut teori kebetulan yakni yang memungkinkan adanya kebetulan akan berujung pada ketidakpercayaan akan adanya pencipta alam. Ketidakpercayaan akan adanya pencipta alam sama dengan ketidakpercayaan akan adanya Tuhan. Karena mereka berpendapat bahwa alam ini ada secara kebetulan. Jika dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan kata kebetulan, sesungguhnya kita secara tidak langsung mengingkari adanya sebab dari kejadian yang dikatakan sebagai kebetulan. Dan jika kita mengingkari sebab, akan berujung pada penafian adanya sebab pertama. Dan jika menghilangkan adanya sebab pertama akan menghilangkan peran Tuhan dalam penciptaan wujud yang kita maksud tersebut. Minimal pada kejadian yang dikatakan kebetulan Tuhan tidak berperan. Misalnya, ketika anda hendak pergi ke kampus, lalu di tengah jalan anda tiba-tiba bertemu teman yang bertahun-tahun lamanya tak berjumpa. Lantas anda mengatakan bahwa pertemuan dengan teman anda adalah suatu kebetulan. Dan jika seperti ini cara berfikir kita, maka tidak ada beda nya kita dengan Empidocles dan Demokritus.
Satu-satunya jalan untuk menggugurkan teori kebetulan ini dengan menggunakan “Prinsip Kausalitas”. Seperti diketahui prinsip kausalitas berbunyi, “Segala sesuatu yang ada pastilah ada yang mengadakan, kecuali keberadaan”. Dan teori kebetulan berbunyi “suatu yang terjadi tanpa sebab”. Ini karena kedua prinsip tersebut saling menafikan. Artinya, ketika kita menerima prinsip kausalitas. Berarti teori kebetulan menjadi gugur. Dan sebaliknya jika kita mengakui adanya kebetulan, maka prinsip kausalitas secara otomatis menjadi batal. Jadi ketika berhasil membuktikan bahwa kebetulan itu tidak memiliki keberadaan (non eksistensi) dengan sendirinya kita telah mengukuhkan prinsip kausalitas. Dan demikian pun sebaliknya. Jika tidak berhasil maka “kebetulanlah” yang benar. Dan jika kebetulan benar maka tidak ada lagi alasan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu. Karena bisa saja segala sesuatu ini terjadi secara kebetulan. Sehingga pada akhirnya tidak ada lagi alasan kita untuk ber-Tuhan!
Mereka (penganut teori kebetulan) ketika menjelaskan bahwa “alam ini tercipta secara kebetulan, karena bertemunya potongan-potongan benda kecil secara kebetulan, yang selalu bergerak secara kebetulan”. Sebenarnya dalam pernyataan tersebut terjadi beberapa kontradiksi, seperti :
a. (Alam ini “tercipta” secara kebetulan). Makna dari kata “tercipta” adalah sesuatu yang membutuhkan sebab (pencipta). Karena tidak ada sesuatu yang tercipta tanpa pencipta. Tetapi pada kalimat tersebut sebab (penciptanya) dinafikan, diganti dengan kata “kebetulan”. Di sisi lain makna dari kata “kebetulan” adalah sesuatu yang tidak bersebab. Jadi antara kata tercipta dan kata kebetulan itu saling bertentangan. Sehingga ketika kita mengatakan “tercipta” pastilah tidak kebetulan. Dan jika kita mengatakan “kebetulan” pastilah tidak tercipta.
b. (Yang selalu “bergerak” secara kebetulan). Makna dari kata “bergerak’ adalah sesuatu yang membutuhkan sebab (pengerak). Karena mustahil sesuatu bergerak tanpa penggerak. Tetapi dalam kalimat tersebut sebabnya menjadi hilang dengan adanya kata kebetulan. Di sisi lain kata “kebetulan” sendiri bermakna sesuatu yang tidak bersebab. Artinya, antara kata bergerak dan kebetulan itu tidak nyambung. Karena sebagaimana maklum, ketika kita mengatakan bergerak pastilah tidak kebetulan. Dan ketika kita mengatakan kebetulan pastilah tidak bergerak.
c. (Kebetulan). Makna dari kata kebetulan itu sendiri akan kehilangan maknanya jika berhadapan dengan prinsip kausalitas. Karena ketika mereka (penganut teori kebetulan) mengatakan bahwa kebetulan itu memiliki keberadaan atau kebetulan itu ada. Maka berdasarkan prinsip kausalitas, teori kebetulan itu gugur. Karena segala sesuatu yang ada pastilah ada yang mengadakan, kecuali keberadaan, termasuk kebetulan. Artinya jika kebetulan itu ada, maka ada yang mengadakan. Dan jika ada yang mengadakan pastilah ia bukan kebetulan. Jadi kebetulan itu tidak dapat eksis (ada) sampai kapanpun. Karena jika eksis (ada) pastilah ia bukan kebetulan.
Olehnya itu, sebaiknya konsep tentang dapatnya terjadi kebetulan, kita buang jauh-jauh. Karena nantinya kita ditertawakan membicarakan sesuatu yang tidak ada. Tetapi mungkin anda bertanya dan merasa aneh, jika sekiranya kebetulan itu tidak ada, kenapa kami membahasnya? Bukankah jika dibahas berarti dianggap ada ? Sejak awal kami tidak pernah mengatakan atau menganggap bahwa kebetulan itu ada. Bahkan kami sama sekali tidak mau membicarakannya. Tetapi karena adanya pemahaman yang keliru tentang keberadaan kebetulan, maka kami berkewajiban untuk membahas kekeliruan tersebut. Yang sebenarnya tidak ada tetapi dianggap ada. Jadi Pembahasan ini justru untuk membuktikan kekeliruan konsep tersebut. Bukan membuktikan bahwa kebetulan itu tidak ada. Karena yang tidak ada tidak perlu pembuktian. Karena tidak ada sama dengan tidak ada. Dan karena ia tidak ada, makanya tidak usah dianggap ada.
(http://samrumi.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar